Kamis, 19 Maret 2009

Santo Vinsensius a Paulo


Vinsensius a Paulo terkenal sebagai rasul cintakasih bagi kaum miskin dan penghibur orang-orang sakit. Pendiri Kongregasi Misi dan Kongregasi Puteri-puteri Cintakasih ini lahir di Pouy, Gascony, Prancis pada tanggal 24 April 1581. Ayahnya Jean de Paul dan ibunya Bertrande de Moras dikenal sebagai petani miskin di Pouy dengan enam orang anak. Meskipun demikian, mereka orang beriman dan saleh hidupnya. Mereka mendidik anak-anaknya dalam kerja dan hidup doa sehingga semuanya berkembang dewasa menjadi orang beriman yang saleh dan disenangi banyak orang.

Vinsens dikenal cerdas, namun tidak bisa bersekolah karena ketidak mampuan orangtuanya membiayai sekolah. Untunglah Tuan Comet, seorang dermawan, bersedia menyekolahkan dia. Pada umur 15 tahun, Vinsens mengikuti panggilan nuraninya untuk menjadi imam. Ia masuk Seminari. Orangtuanya bingung dengan cita-citanya itu. Tetapi akhirnya mereka pun meluluskan permintaannya. Mula-mula Vinsens belajar di sebuah kolese Fransiskan di kota Dax, lalu melanjutkan pendidikannya di Universitas Toulouse. Karena kecerdasannya, ia dapat menyelesaikan studinya dalam waktu yang singkat. Pada tahun 1600, ketika berusia 20 tahun, ia ditahbiskan menjadi imam, sambil melanjutkan studi hingga meraih gelar Sarjana Teologi di Universitas Toulouse pada tahun 1604.

Pada tahun 1605, dalam perjalanan pulang seusai studinya, kapal yang ditumpanginya disergap bajak-bajak laut dari Turki di Laut Tengah. Vinsens ditangkap dan digiring ke pasar budak Tunisia. Di sana dia dibeli oleh seorang saudagar dari Afrika Utara. Selama dua tahun, Vinsens mengalami banyak penderitaan karena perlakuan kasar majikannya. Namun dia dengan sabar dan rendah hati menanggung semuanya itu. Teladan hidupnya akhirnya berhasil mematahkan kekerasan hati tuannya sehingga dia tidak disiksa dengan pekerjaan-pekerjaan berat. Pada tahun 1607, Vinsens berhasil meloloskan diri dari cengkeraman tuannya dan lari ke Roma. Di Roma ia belajar lagi Teologi selama dua tahun sebelum kembali ke Prancis.

Di Prancis, ia bekerja di paroki Clichy di pinggiran kota Paris. Di bawah bimbingan Pater Pierre de Berulle, seorang teolog terkenal yang kemudian menjadi Kardinal, ia menjadi seorang imam yang disukai umat. Atas permintaan Pater de Berulle, ia menjadi pengajar pribadi putera tertua Philippe Gondi, seorang bangsawan terkemuka dari Prancis. Dalam keluarga bangsawan ini Vinsens mulai mencurahkan seluruh kemampuannya. Ia tidak hanya mengajar tetapi juga memberikan bimbingan rohani kepada para petani yang bekerja, di perkebunan-perkebunan keluarga Gondi di Champagne dan Picardy. Kepada mereka, Vinsens mengajarkan kebajikan-kebajikan iman Kristen dan mendorong mereka untuk selalu menerima sakramen terutama Komuni Kudus serta kembali kepada praktek iman Kristen yang benar dalam hidup sehari-hari.

Pada tahun 1617, Vinsens diangkat sebagai pastor paroki ChatillonLes-Dombes. Paroki ini tergolong sulit dan berat karena sarat dengan masalah kemerosotan moral dan praktek kekafiran. Vinsens ternyata orang hebat. Ia berhasil mempertobatkan umat paroki itu hanya dalam waktu satu tahun. Kesalehan hidupnya dan caranya melayani umat sanggup mematahkan kedegilan hati umat. Di paroki itulah, Vinsens mulai merintis pendirian tarekat Persaudaraan Cintakasih. Ia berhasil menarik 20 orang wanita yang dengan sukarela mengunjungi orang-orang sakit dan para fakir miskin di seluruh wilayah paroki.

Menyaksikan prestasi Vinsens, Jean Francois de Gondi, Uskup Agung Paris dan saudara kandung Philippe Gondi, meminta Vinsens mendirikan sebuah tarekat misioner untuk mewartakan Injil dan melayani sakramen-sakramen di seluruh wilayah keuskupannya. Tarekat misioner ini kemudian dikenal luas dengan nama 'Kongregasi Imam untuk Karya Misi' atau Kongregasi Misi. Imam-imam dalam kongregasi ini lazim juga disebut 'Imam-imam Lazaris'. Pada mulanya mereka bermarkas di Kolese des Bos-Enfants, yang dipercayakan kepada Vinsens oleh Uskup Agung Jean Francois de Gondi.

Masalah besar yang dihadapi Vinsens ialah kurangnya persiapan imam-imam diosesan Prancis untuk tugas-tugas pastoral. Untuk mengatasinya, Vinsens mulai melancarkan program pembinaan rohani khusus untuk para calon imam yang akan ditahbiskan. Untuk itu, ia memindahkan pusat karyanya ke biara Santo Lazarus di Paris atas dukungan kepala biara itu. Di biara itu, Vinsens memprakarsai pertemuan mingguan untuk imam-imam diosesan, dan kegiatan pemeliharaan anak-anak yatim-piatu dan para fakir miskin. Melalui pertemuan mingguan itu, ia berhasil mendidik sejumlah orang saleh dari Prancis, seperti Jacques Benigne Bossuet dan Jean Jacques Olier, pendiri Serikat Santo Sulpice.

Bagi para miskin dan orang sakit, ia mendirikan banyak Yayasan Persaudaraan Cintakasih, yang telah dimulainya di paroki Chatillon-LesDombes. Louise de Marillac, janda Antoine Le Gras yang kemudian digelari kudus, ditugaskan untuk mengurus yayasan-yayasan itu. Orangorang kaya dimintanya menyumbangkan sejumlah kekayaannya bagi orang-orang miskin. Beberapa wanita di bawah pimpinan Louise de Marillac dibimbingnya untuk menangani karya itu. Kelompok kecil ini terus bertambah jumlahnya dan akhirnya menjadi satu kongregasi tersendiri, Kongregasi Suster Puteri-puteri Cintakasih. Kelompok suster ini merupakan kelompok religius terbesar dalam Gereja dewasa ini. Semangat dua kongregasi religius yang didirikannya diilhami oleh pandangannya tentang cinta kepada Tuhan yang bersifat praktis: "Cintailah Tuhan dengan kedua tanganmu sampai kecapaian dan dengan butir-butir peluh yang mengucur dari wajahmu!" Vinsensius a Paulo meninggal dunia di Paris pada tanggal 27 September 1660. Oleh Paus Klemens XII, ia digelari 'kudus' pada tahun 1737, dan oleh Paus Leo XIII diangkat sebagai pelindung semua karya dan perkumpulan cintakasih.

Sabtu, 28 Februari 2009

Evangelizare

EVANGELIZARE PAUPERIBUS MISIT ME
(Menumbuhkan Semangat Pelayanan Kepada Kaum Miskin)




Karya Roh Kudus
Gereja atau ekklesia adalah perkumpulan saudara-saudara yang dilahirkan oleh tindakan Tuhan dan oleh kehadiran-Nya di tengah mereka. Gereja diutus menjadi Sakramen Universal keselamatan1. Artinya bahwa Gereja melanjutkan karya perutusan Kristus, yakni mewartakan keselamatan bagi semua orang.
Yesus menjanjikan Roh Kudus kepada para murid-Nya. Roh itulah yang menyemangati para murid untuk pergi mewartakan Kerajaan Allah sampai ke ujung bumi. Jadi dari sini dapat disimpulkan bahwa Roh Kudus dari Bapa yang diutus Yesus, mengerjakan karya penyelamatan Kristus dalam jiwa manusia. Ia menggerakkan Gereja untuk terus bekarya di dunia, mewartakan kasih Tuhan kepada segala bangsa. Roh Kudus ini pula yang nantinya akan menyatukan segenap Gereja dalam persekutuan pelayanan dan semangat merasul.
Keterbukaan Gereja terhadap karya Roh Kudus tentunya akan memampukan Gereja untuk melaksanakan tugasnya di dunia. Roh Kudus akan membimbing Gereja dalam mencari, menemukan, dan melaksanakan rencana Allah dalam peziarahannya di dunia. Roh Kudus membuat Gereja semakin tanggap pada perkembangan zaman. Gereja semakin sadar dan peka akan tanda-tanda zaman yang ada.
Kesadaran gereja juga menjadi kesadaran Santo Vinsensius sebagai anggota. Ia sangat prihatin dengan kehidupan rakyat yang menderita dan juga kehidupan para petinggi gereja zaman itu yang tidak pernah memperhatikan kehidupan umat yang berada di pelosok-pelosok. Santo Vinsensius percaya akan karya Roh Kudus yang menggerakkannya untuk pergi bermisi di tengah-tengah kaum miskin. Roh Kristus memanggilnya pada sebuah tugas yang mulia, yakni pelayanan kepada orang-orang yang tersingkir. Sehingga sangat tepat bila Santo Vinsensius memilih Luk 4: 18 sebagai motto hidupnya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin.”

Orang Miskin sebagai Pilihan Utama
Pelayanan hidup Santo Vinsensius seluruhnya dibaktikan kepada orang-orang miskin. Ia memilih orang miskin sebagai tempat labuhan hidup dan karyanya. Mengapa Santo Vinsensius memilih orang miskin? Tentunya ada sesuatu yang istimewa pada diri orang miskin.
Keistimewaan yang terdapat dalam pribadi orang miskin menjadi kesadaran Santo Vinsensius dalam pergolakannya mencari dan menemukan kehendak Tuhan. Santo Vinsensius tentunya menyadari bahwa para miskin ternyata telah menjadi pembawa wahyu Allah. Mereka dapat menjadi sarana dan jalan untuk menemukan Kristus. Sehingga Santo Vinsensius dengan tegas menyatakan bahwa orang miskin adalah tuan dan majikan yang harus harus dilayani, sepertinya yang terungkap dalam salah satu suratnya: “Let us go then, my brother and work with a new love in the service of the poor and most abandoned, recognizing before God that they are our lords and masters that we are unworthy to render them our small services (SV XI, 393).
Santo Vinsensius mengabdikan seluruh hidupnya bagi kaum miskin, tentunya dengan kesadaran bahwa ada keistimewaan dalam diri orang miskin. Ada hubungan khusus dan sangat erat antara Allah (Yesus Kristus) dan manusia yang menderita, miskin, sehingga pertemuan Santo Vinsensius dengan kaum papa menandakan bahwa ia juga bertemu dengan Allah sendiri. apa yang dilakukan terhadap kaum miskin memiliki nilai setaraf dengan perbuatan yang ditujukan kepada Allah.
Santo Vinsensius melihat dengan kacamata imannya bahwa kehadiran Tuhan Yesus dalam diri orang miskin menuntut uluran kasih darinya. Sehingga Vinsensius berani keluar dari dirinya dan pergi melayani orang-orang miskin yang kebanyakan berada di desa. Ini merupakan wujud cinta Vinsensius terhadap Allah sendiri. Cinta kepada Allah terwujud dalam cinta kepada sesama. Cinta itu menuntut tindakan konkrit. Sehingga pelayanan kepada orang miskin merupakan ungkapan cinta Vinsensius kepada Allah. Pelayanan kepada kaum miskin diyakini oleh Vinsensius sebagai jalan pengudusan. Pengabdian hidup dengan kaum miskin merupakan jalan untuk sampai pada kesempurnaan. Sehingga pilihan hidup untuk melayani kaum papa patut diperjuangkan dan usahakan. Seperti yang diungkapkan Vinsensius dalam salah satu suratnya: “Marilah kita mencintai Allah, sekali lagi marilah mencintai Allah dengan mencucurkan keringat dan dengan menyingsingkan lengan baju” (SVXI, 40).

Melihat Kehadiran Kristus pada Orang-orang Miskin
Yesus juga secara terang-terangan mengindentifikasikan diri dengan kaum miskin. Ini nampak dalam peristiwa pengadilan terakhir pada Mat 25: 31-46: ”Aku lapar dan kamu memberi Aku makan ... Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian ... Barang siapa saja yang kamu lakukan bagi salah seorang saudaraku yang terhina sekalipun, itu telah kamu lakukan bagi Aku.” Tuhan memang tersembunyi dalam wujud orang-orang yang lapar, telanjang, atau lebih tepatnya dalam diri mereka yang miskin. Dengan sabda-Nya ini, Yesus menyatakan diri-Nya identik dengan kaum miskin. Namun kehadiran Yesus yang berpihak pada kaum papa (pendosa) itu bukan berarti bahwa Allah mendukung kemikinan dan dosa mereka. Namun ada daya tarik tersendiri dalam diri orang miskin, sehingga Yesus justru masuk dalam golongan mereka (lht. Luk 1: 48- 52). Orang miskin di sini tentunya tidak langsung dikaitkan dengan kemiskinan material. Namun merupakan sikap jiwa miskin, yakni sikap merindukan rahmat Allah, sikap mengosongkan diri, dan menggantungkan hidup sepenuhnya kepada Allah.
a. Kemiskinan pada Zaman Yesus
Bila kita melihat kemiskinan zaman Yesus, kita dapat mengatakan bahwa pengertian miskin dalam injil bukan hanya menunjukkan orang-orang yang kekurangan secara ekonomis saja, namun orang yang miskin adalah orang yang hidup sepenuhnya bergantung pada belaskasihan orang lain. Mereka tidak mempunyai sandaran hidup yang memperhatikan dan mengangkat mereka dari keadaan mereka. Di zaman Yesus, penderitaan orang miskin yang paling besar adalah rasa aib dan malu1. Karena bagi orang timur tengah kehormatan lebih penting daripada makanan dan hidup sendiri2. orang-orang miskin biasanya tidak diperhitungkan dalam masyarakat. Mereka kehilangan martabat kemanusiaannya, karena tidak diperlakukan sebagai manusia. Mereka disingkirkan dari kehidupan sosial.
b. Kemiskinan dalam Hubungannya dengan Allah
Arti miskin di sini juga dapat diperluas dalam konteks hubungan dengan Allah, yakni berarti keadaan manusia yang sepenuhnya bergantung pada belaskasih Allah. Kehadiran Yesus pada orang miskin merupakan kehadiran kasih Allah yang membawa harapan dan sukacita bagi mereka. Yesus mengangkat martabat kemanusiaan mereka. Orang miskin yang dianggap sebagai kaum pendosa karena tidak menaati hukum Allah, kini oleh belas kasih Allah diangkat kembali menjadi orang yang berbahagia di hadapan Tuhan.

Pewartaan Injil: Mengenakan Kristus
Yesus Kristus merupakan pusat hidup dan kegiatan Kongregasi Misi (lht Konstitusi dan Statuta CM pasal 5). Ini berarti bahwa saya sebagai anggota kongregasi hendaknya selalu menghidupi semangat Yesus Kristus dalam diri saya. Yesus hendaknya menjadi pedoman dan pusat hidup dalam setiap pewartaan saya kepada kaum miskin. Warisan spiritual Santo Vinsensius hendaknya terus menghidupi saya dalam menumbuhkan semangat pelayanan kepada orang miskin.
Hidup dan semangat Santo Vinsensius hendaknya menjadi teladan yang harus saya pupuk dalam diri saya. Sebagai pengikut Santo Vinsensius, yakni mengikuti Kristus mewartakan Injil kepada orang miskin, saya memiliki tanggung jawab untuk meneruskan apa yang telah diwariskan oleh Bapa Pendiri. Saya sekarang hidup di zaman yang berbeda dengan zaman Beliau, namun warisan spritualitas dan nilai-nilai dari hidup Vinsensius tentunya masih sangat relevan untuk diteruskan atau diwartakan dalam konteks dunia sekarang ini. Meskipun orang miskin tidak akan pernah habis, selalu ada dan mewarnai perkembangan zaman, bukan berarti apa yang pewartaan yang dilakukan sebuah kesia-siaan. Namun justru sebaliknya, pewartaan dan perjumpaan dengan kaum miskin, merupakan pengalaman perjumpaan yang mendalam dengan Allah. Pengalaman ini dapat meneguhkan iman dan kepercayaan akan Allah yang selalu berpihak pada kaum papa. Pengalaman ini akan membawa saya pada kedalaman iman. Bila saya sungguh menyadari makna iman yang saya miliki, tentunya saya akan memperjuangkannya. Meskipun kedatangan saya tidak membawa materi, namun saya membawa Kristus yang dapat saya bagikan. Saya mewartakan Kristus yang menjadi kerinduan banyak orang.
Menghidupi Kristus dalam diri saya berarti saya membiarkan Yesus menguasai hati, pikiran, dan budi saya. Sehingga apa yang saya lakukan merupakan kehendak dan pekerjaan Kristus sendiri. Dan perilaku hidup saya yang selalu menghadirkan Kristus ini akan menjadi sebuah pewartaan yang efektif di tengah-tengah kaum miskin. Ini merupakan kesaksian hidup yang lebih mengena dan menghadirkan sukacita dalam setiap perjumpaan dengan kaum miskin. Karena Kristus yang kita wartakan akan menjadi seteguk cinta yang akan menyegarkan jiwa mereka yang haus. Kristus yang diwartakan lewat tindakan konkrit tentunya akan memberi semangat baru dalam hidup mereka. Pewartaan inilah yang akan membawa mereka pada kesadaran bahwa Tuhan selalu mencintai mereka dan mereka sangat berharga di mata Tuhan.

Teladan Kristus sebagai Seorang Hamba
Yesus sungguh menghayati perutusannya. Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menjadi tebusan bagi banyak orang. Ia adalah Tuhan yang bertindak sebagai hamba dan tidak mau berpegang teguh pada kemuliaan-Nya yang setara dengan Allah (lht. Filp 2: 6-11).
Sikap mengosongkan diri yang diteladankan Yesus ini juga menjadi semangat Santo Vinsensius dalam perutusannya mewartakan injil kepada kaum miskin. Dengan mengosongkan diri, Santo Vinsensius mengenakan atau menaruh Roh Kristus, yaitu semangat kemiskinan dalam dirinya. Semangat kemiskinan atau mengosongkan diri ini membuat Santo Vinsensius tidak berpegang pada apa pun, kecuali hanya pada Allah. Ia meletakkan Kristus sebagai tumpuan hidupnya, terutama dalam pelayanan di tengah-tengah kaum miskin. Santo Vinsensius juga mewariskan semangat ini kepada para pengikutnya, seperti yang terungkap dalam suratnya kepada Antoine Durand, yang diangkat Pimpinan Seminari Adge (1656): “Romo (Antoine Durand) harus meninggalkan diri sendiri untuk mengenakan Yesus Kristus” ( SV XI 343-344).
Semangat mengosongkan diri memampukan Santo Vinsensius untuk menjadi manusia yang bebas dalam mencintai sesamanya. Ia lepas dari kelekatan-kelekatan duniawi yang akan menjeratnya pada kehausan akan kekuasaan dan cinta diri. Ia mengosongkan diri dan menjadi hamba yang bebas melayani saudara-saudara yang malang. Ia dapat mempersembahkan dan membaktikan seluruh hidupnya pelayanan yang mulia, seperti Kristus sendiri yang rela mengorbankan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang ( lht. Mat 20: 28).
Semangat mengosongkan diri juga dapat diartikan sebagai semangat mencari kehendak Tuhan dalam hidup. Karena dengan mengosongkan diri, Santo Vinsensius semakin sadar dan terbuka akan rencana Allah dalam hidupnya. Sikap mengosongkan diri ini memampukan Santo Vinsensius untuk mendengarkan suara Allah yang memanggilnya untuk pergi membebaskan sesama yang papa dari kemalangan. ia melepaskan segala keterikatan di dunia dan membiarkan rencana Allah bekerja dalam hidupnya.

Membangun Relasi Personal dengan Tuhan
Bila berbicara mengenai kehendak Allah, tentunya orang teringat akan suatu peristiwa di mana ia harus menentukan apa yang akan dilakukan atau diperbuat dalam hidupnya. Dalam pengalaman konkrit, semua orang akan banyak berjumpa dan bergelut dalam masalah ini. Orang kerap bingung untuk menentukan sebuah tindakan, sehingga timbul keraguan, apakah yang dilakukan sesuai dengan jalan yang dikehendaki Tuhan. Mencari kehendak Allah dalam hidup merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Oleh sebab itu dibutuhakan relasi yang mendalam dengan Tuhan sendiri. Kita bisa belajar dari Santo Vinsensius dalam pergolakan hidup untuk mencari apa yang Tuhan kehendaki pada diri kita. Dalam pengalaman konkrit, Santo Vinsensius selalu membuka diri pada rencana dan kehendak Tuhan, seperti yang pernah ia ungkapkan dalam doanya: “Tuhan sekiranya Tuhan ada di sini, bagaimana sikap Tuhan dalam situasi ini?” Ini merupakan kata-kata atau doa yang menunjukkan kedekatan relasi Santo Vinsensius dengan Tuhan.
Untuk dapat mewartakan Injil secara efektif dan mengena kepada kaum miskin, saya harus memiliki hubungan yang personal dengan Tuhan. Hubungan yang mendalam dengan Tuhan akan memungkinkan terjadinya keseimbangan antara doa dan karya. Bila saya melupakan hidup doa dan hanya mengandalkan karya, maka apa yang saya lakukan tidaklah lebih dari sebuah tindakan yang ditujukan pada kesenangan dan kepentingan pribadi. Karena saya hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri dan melupakan peran Allah. Sehingga semua yang dilakukan hanya untuk kemuliaan diri, bukan untuk kemuliaan Allah. Meskipun manusia dapat memuliakan Tuhan dalam karya, itu bukan berarti bahwa karya itu membuat kita melupkan hidup doa. Bukan berarti bahwa saya hanya melulu berkarya, sehingga melupakan peranan Tuhan dalam pewartaan. Tuhan merupakan sumber dan tujuan dari setiap pewartaan saya di tengah-tengah kaum miskin. Oleh sebab itu relasi yang mendalam dengan Tuhan sangatlah penting dalam karya-karya pewartaan saya.
Relasi yang personal dengan Tuhan juga dapat meneguhkan kepercayaan akan Penyelenggaraan Ilahi, akan karya Roh Kudus yang hidup dalam diri saya. Roh itu akan membangkitkan panggilan dan semangat misioner. Roh Kudus itu juga akan mencurahkan cinta kasih dalam hati saya dan cinta kasih itu yang saya wartakan kepada orang miskin. Berkat karya Roh Kudus, cinta kasih yang saya wartakan dapat merangkul orang-orang papa.
Relasi yang mendalam dengan Tuhan tidak akan terwujud bila saya tidak melatih atau membangunnya selama masa pembinaan, secara khusus selama berada di Seminarium Internum. Masa pembinaan di Seminarium Internum merupakan kesempatan bagi saya untuk membangun dan mempererat relasi yang personal dengan Tuhan. Berbagai kegiatan seperti salve, pemeriksaan batin, Ekaristi, dan doa-doa yang lain dapat membawa saya pada proses keintiman relasi dengan Tuhan. Relasi yang dibangun tentunya akan berbuah dalam pewartaan di tengah-tengah kaum miskin. Sebab keteguhan iman kepercayaan kepada Allah yang semakin tumbuh dapat menumbuhkan semangat pelayanan kepada orang miskin.

1 Ad Gentes art. 1
2 Albert Nolan, OP, Yesus Sebelum Agama Kristen, hlm. 37
3 JDM. Derrett (2), Jesus’s Audience, hlm. 40. 42

Jumat, 27 Februari 2009

Refleksi Hidup St. Vinsensius


Kisah awal kehidupan Santo Vinsensius dalam keluarga Gondi sangat mengesankan sekali, di mana Santo Vinsensius sendiri terus berkembang baik dalam hidup rohani, maupun dalam komitmen hidupnya. Santo Vinsensius selalu menampilkan sosok pribadi yang sederhana dan rendah hati. Santo Vinsensius sungguh memiliki ketegasan hidup, yang tentunya mempengaruhi perkembangan hidup baik dirinya sendiri, maupun orang lain, lebih-lebih keluarga Gondi yang merasakan hidup bersamanya. Santo Vinsensius berperan besar dalam keharmonisan keluarga mereka. Keserhanaan hidup dan sikap Vinsensius yang rendah hati tentunya merupakan sebuah komitmen hidup yang diorientasikan pada saru tujuan, yakni membaktikan hidup sepenuhnya demi kemuliaan Tuhan. Karena tujuan inilah, segala sesuatu atau kesempatan yang dapat membuat dirinya menjadi terkenal atau populer, ia lupakan dan tidak ia indahkan. Tujuan hidup yang amat mulia ini juga membuatnya tidak hanya melihat kesejahteraan dirinya sendiri, tetapi ia mau membuka diri akan situasi dan keadaan orang lain, terlebih orang-orang miskin yang sungguh-sungguh membutuhkan jamahan kasih dari orang lain. Inilah yang menarik bagi saya secara pribadi, di mana Santo Vinsensius bukan hanya melihat situasi umat pada saat itu, tetapi ia mau ikut merasakan dan ambil bagian dalam situasi tersebut. Dengan mengunjungi orang-orang miskin, bagi saya, Santo Vinsensius telah memasukan dirinya ke dalam situasi orang miskin tersebut, bahkan lebih dari itu, ia turut ambil bagian dalam meringankan beban penderitaan mereka.
Santo Vinsensius juga tampil sebagai sosok seorang yang tekun dan giat bekerja. Kiranya ini dapat menjadi teladan bagi saya dan kita semua. Kita boleh melihat hal ini secara nyata dalam tugas dan karya Santo Vinsensius sendiri. Salah satu contohnya: walaupun Santo Vinsensius menjadi Kapelan keluarga Gondi, namun ia tidak melupakan tugas-tugasnya sebagai pastor Paroki Clichy. Ia melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan sungguh-sungguh dan dilakukan dengan tulus dan penuh sukacita. Ia kerapkali mengunjungi umat paroki Clichy dan berkhotbah di sana. Sikap dari Santo Vinsensius ini sungguh menggugah hati saya. Bila saya melihat kilas balik perjalanan hidup saya, ternyata dalam menghadapi berbagai tugas, saya kerapkali mengutamakan tugas-tugas yang saya senangi, dan bahkan tugas-tugas yang tidak saya sukai malah tidak saya indahkan. Keseriusan dan keuletan Santo Vinsensius dalam menjalankan tugas-tugasnya menunjukkan bahwa ia juga serius dalam menanggapi panggilan Tuhan. Kiranya sikap ini yang juga menjadi daya dorong bagi saya dalam melaksanakan tugas-tugas di Seminarium Internum ini baik tugas-tugas yang saya senangi, maupun tugas-tugas yang tidak saya senangi. Hendaknya semuanya itu saya laksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, sehingga dapat menghasilkan buah limpah dalam ketekunan.
Ada satu hal yang perlu diketahui dan diingat, bahwa Santo Vinsensius tidak melulu menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja dan berkarya. Ia tidak pernah melupakan relasinya dengan Tuhan, yang merupakan sumber kekuatannya dalam tugas dan pelayanannya. Di waktu luang, ia kerapkali berdoa dan bermeditasi di biliknya. Bagi saya pribadi adalah suatu kebohongan besar bila ada orang mengatakan bahwa ia melayani sesamanya dengan penuh cinta, tetapi ia sendiri tidak pernah membangun relasi dengan Tuhan. Meskipun pelayanan itu ada, saya yakin pelayanan itu tidak akan berlangsung lama, sebab pelayanan itu tidak memiliki fondasi yang kokoh, yakni Allah itu sendiri. Santo Vinsensius telah menunjukkan bahwa hidup doa atau relasi yang erat dengan Allah menjadi sumber kekuatan hidupnya dalam segala tugas dan pelayanannya. Saya sendiri melihat relasi Santo Vinsensius yang begitu erat dengan Allah itu tampak baik dalam perbuatannya, juga lewat perkataannya yang rendah hati. Ia kerapkali mengungkapkan bahwa yang mendirikan tarekatnya adalah Allah sendiri, bukan dirinya. Ini menunjukkan sebuah ungkapan iman yang begitu besar dari diri Santo Vinsensius, yang sungguh percaya bahwa Allah sungguh-sungguh berkarya dalam hidupnya.
Kita tidak dapat pungkiri bahwa hadirnya Nyonya Gondi dalam kehidupan Santo Vinsensius telah memberi pengaruh yang besar dalam perkembangan hidup Santo Vinsensius. Hal ini bukan berarti hidup Santo Vinsensius tergantung pada Nyonya Gondi, namun kehadiran Nyonya Gondi telah mendorong atau boleh dikatakan telah membantunya untuk mewujudkan satu tujuan, yang sebenarnya itu adalah tujuan bersama karena juga berasal dari keprihatinan bersama akan situasi saat itu. Tujuan itu adalah memperhatikan orang-orang miskin dan menyelamatkan jiwa mereka. Hadirnya Nyonya Gondi dalam kehidupan Santo Vinsensius membuatnya semakin dimantapkan dalam melayani dan memperhatiakan orang-orang kecil. Hal ini menunjukkan atau lebih tepatnya mau mengatakan bahwa hadirnya orang-orang lain dalam kehidupan Santo Vinsensius merupakan faktor luar, yang juga mempengaruhi proses perkembangan hidupnya.


Peristiwa yang Santo Vinsensius alami juga saya rasakan dalam hidup berkomunitas di Seminarium Internum. Walaupun dengan situasi dan takaran yang berbeda, namun sebagai makhluk sosial, saya juga dapat merasakan pengaruh teman-teman sekomunitas dalam proses pembentukan pribadi saya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa faktor dari luar diri saya (teman-teman, lingkungan, dll) juga mempengaruhi perkembangan komitmen hidup saya. Hanya saja yang menjadi perhatiannya sekarang adalah layaknya Santo Vinsensius sediri yang mau membuka diri dan sadar akan faktor ini, sehingga faktor ini menjadi nilai yang positif, yang memantapkan spiritualitas dan komitmen hidupnya.
Santo Vinsensius berani memutuskan untuk pergi melayani di Bresse, tepatnya di Chatillon – les – Dombes. Keputusan ini menunjukkan bahwa beliau berani menancapkan jangkar jiwanya di tengah-tengah kawanan domba yang sungguh-sungguh merindukan hadirnya seorang gembala yang mau memperhatikan mereka. Kepergiannya ke Chatilon- les-Dombes merupakan sebuah keputusan yang diambil secara sadar dan didasari oleh pertimbangan-pertimbangan matang. Keputusan itu bukan hanya antusiasme belaka, namun merupakan sebuah kesadaran dan keyakinan dari Santo Vinsensius sendiri, bahwa ia sungguh dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi pelayan-Nya atau menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi sesama yang miskin (kaum papa).
Kiranya semangat Santo Vinsensius ini dapat menjadi semangat para misionaris, terlebih para pengikut Santo Vinsensius sendiri yang sudah dan akan melaksanakan tugas misinya kepada orang-orang kecil. Semoga juga teladan Santo Vinsensius memberikan peneguhan bagi saya dalam melaksanakan ‘misi-misi kecil’ yang ada di Seminarium Internum.

Ajaran Orang Miskin, Guru dan Majikanku

Melepas Lelah
Kesejukan udara Minggu pagi membuat Pak Iwan, pria 24 tahun masih terlelap dalam tidurnya. Layaknya kebanyakan orang, pada hari Minggu pria asal Turen, Malang itu banyak menghabiskan waktunya dengan santai dan tidur-tiduran. Namun beberapa sahabatnya tetap melangkahkan kaki dan pergi memulung. Becak tua yang terletak di bawah pohon Mahoni, menjadi tempat tidur yang empuk dan aman bagi Pak Iwan untuk membaringkan tubuhnya. Becak tua itu menjadi tempat untuk melepaskan segala rasa lelah dan penat yang meliliti raganya, karena terus bekerja keras beberapa waktu lalu. Memang tidur menjadi saat yang sangat penting bagi para pemulung, yang telah bekerja keras seharian. Dengan tidur mereka akan memulihkan tenaga mereka yang sempat terkuras. Dan tenaga baru itu mereka perlukan karena memang mereka harus bekerja lagi.

Rumah Impian Masa Depan
Bagi Pak Iwan, hidup memang merupakan perjuangan yang berat. Pak Iwan harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi isteri, Rini dan anaknya, Guntur. Istrinya, Rini yang berumur lebih kurang 20 tahun kerap mengamen di rumah-rumah dan perempatan jalan. Rini tidak pernah les musik atau latihan vokal, namun ia harus mengeluarkan suara emasnya di tengah keramaian demi mendapatkan sepeser uang. Dan hal itu ia harus lakukan untuk menambahkan penghasilan suaminya.
Pak Iwan tidak memiliki rumah, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan yang aman baginya dan keluarganya. Ia bersama anak dan isterinya harus menikmati hari-hari hidup mereka di sebuah taman kecil di Oro-oro Dowo. Taman yang hanya ditumbuhi beberapa pohon besar, beratapkan langit, dan beralaskan bumi itu, menjadi rumah impian masa depan mereka. Tidak ada yang istimewa di taman itu, kecuali suara mobil yang lalu-lalang dan beberapa orang yang sedang bermain dan berekreasi.

Harapan Seorang Ayah
“Mudah-mudahan Ridho nanti nasibnya tidak susah seperti saya”, ungkap Pak Iwan yang sangat mengharapkan anaknya, yang memiliki nama lengkap Ridho Guntur Umbaran, nantinya berhasil. Setiap orang tua tentunya mengharapkan anaknya sukses atau berhasil. Apa saja orang tua lakukan atau perjuangkan demi keberhasilan anaknya, entah dengan menyekolahkannya setinggi mungkin atau dengan memberikan mutu sekolah yang baik kepada anak. Demikian juga Pak Iwan, ia kerap mengungkapkan keresahannya tentang masa depan anaknya. Pak Iwan tidak tahu harus bagaimana nanti jika Ridho sudah pada usia sekolah. Pak Iwan bingung bagaimana menyekolahkannya jika penghasilan pekerjaannya sehari hanya bisa untuk mengisi perut saja. Sekarang Ridho baru berumur satu tahun. Pak Iwan punya waktu beberapa tahun untuk bekerja keras mencari uang, namun waktu beberapa tahun itu tentunya tidak banyak merubah nasib Pak Iwan.

Cinta Mereka Ditentukan Oleh Masa
Pak Iwan bukan seorang kristiani, ia seorang muslim. Namun ia kerap menyanjung kehidupan orang-orang kristiani yang pernah ia lihat. “Orang kristen itu sangat baik. Mereka sering memberi makanan dan pakaian pada Hari Raya Natal. Tapi Natal sekali setahun … lama sekali menunggunya”, ungkap Pak Iwan mengenai orang kristen yang pernah ia jumpai. Pernyataan Pak Iwan boleh saja membuat orang-orang Kristen berbangga, namun pernyataan itu juga mengungkapkan betapa dangkalnya iman umat kristiani. Cinta dan kebaikan orang Kristiani ternyata dibatasi oleh hari dan masa tertentu, yakni pada masa Natal saja. Sungguh tidak dapat dibayangkan jika seandainya Tuhan itu baik pada masa atau hari tertentu saja atau Tuhan mengampuni dosa manusia hanya pada masa tobat saja. Semua orang tentunya tidak mengharapkan hal itu terjadi. Dan memang hal itu tidak akan terjadi, karena Allah itu adalah cinta. Cinta Allah tidak dibatasi oleh waktu dan zaman. Ia selalu menunjukkan cintanya pada manusia. Sudah menjadi tugas manusia untuk mencintai sesamanya.

Bila Cinta Memanggilmu



Pengantar
Hidup kita tidak akan lepas dari dosa. Dosa seperti suatu lingkaran yang terus berputar seiring perjalanan hidup kita. Kita tidak akan lepas dari dosa selama hidup di dunia. Bahkan seperti yang diungkapkan Romo Deshi Ramadhani, SJ bahwa manusia melakukan dosa itu biasa. Manusia tidak malu lagi terhadap dosa-dosa yang dilakukannya (Hidup. No.09. Tahun ke-61. 4 Maret 2007). Jadi, dosa akan menjadi kemelut dan pergolakan manusia secara terus-menerus. Dosa itu juga dapat berkembang seiring perjalanan hidup kita. Dari semuanya itu, kita dapat menyimpulkan bahwa dosa merupakan bagian hidup kita.
Cinta Allah kepada manusia tidak akan pernah pudar. Ia ingin manusia tetap setia dan tidak lepas dari rangkulan cinta-Nya. Ia selalu menyatakan kasih-Nya kepada manusia. Meskipun manusia tidak setia pada-Nya, ia tidak pernah melupakan manusia. Ia ingin semua manusia memperoleh keselamatan. Kesadaran akan kasih Allah yang begitu besar itulah yang pertama-tama membuat kita berani datang kepada-Nya dengan penyesalan yang mendalam dan rela menyerahkan seluruh hidup kita kepada-Nya.
Sapaan Allah dalam hidup hendaknya kita sikapi dengan hati terbuka. Keterbukaan hati inilah yang akan membuat kita semakin bisa merasakan kasih dalam setiap pengalaman hidup kita. Kasih Allah senantiasa mengundang kita untuk tinggal dalam naungan Allah. Hal ini berarti bahwa kita diundang Allah untuk kembali kepada-Nya dan meninggalkan cara hidup yang lama.

Sebuah Pengalaman Cinta
Untuk sedikit memberikan ilustrasi pada penulisan saya ini, saya mengangkatnya dari sebuah pengalaman pribadi, di mana saya dapat merasakan kasih Tuhan yang begitu besar dalam hidup saya. pengalamannya sebenar cukup sederhana namun telah meninggalkan kesan yang mendalam dalam perjalanan hidup saya. waktu itu saya masih kelas 3 SD. Biasanya ketika liburan, saya membantu ibu menjajakan roti dan sayur-sayuran ke sebuah tempat yang bernama Muran. Muran adalah nama sebuah tempat di mana di situ terdapat banyak PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin). Perjalanan ke sana cukup jauh, memakan waktu lebih kurang dua jam dengan berjalan kaki dan harus melewati hutan lebat. Suatu hari di tengah perjalan ke Muran, saya dan ibu dihadang oleh kawanan semadak[1] yang memenuhi jalan sampai kira-kira lima meter panjangnya. Kecemasan dan ketakutan pun mulai memenuhi perasaan saya. namun ibu yang membawa sebuah jarai[2] berisikan sayur-sayuran, langsung menggendong saya dan berlari kencang untuk menghindari gigitan semadak-semadak tersebut. Rasa cemas dan takut yang semula memenuhi perasaan saya, kini berubah menjadi sukacita. Saya merasa aman dalam gendongan ibu saya. saya merasa senang karena bisa melewati semadak-semadak itu. Saya pun merasa bersemangat untuk meneruskan perjalanan.



Allah Menyapa: Sebuah Undangan
Kehadiran Allah saya rasakan tampak dalam diri ibu saya, yang tidak membiarkan saya sendirian dalam menghadapi masalah itu. Ia menggendong saya dan membiarkan saya aman dalam dekapannya. Ibu menggendong saya tanpa menunggu saya memintanya. Hal ini melukiskan bahwa Allah selalu bermurahhati memberikan pertolongan. Kasih Allah membuat saya merasa damai tinggal di dalam-Nya. Ia tidak membiarkan saya berjalan sendirian. Allah tidak membiarkan saya binasa karena dosa. Ia selalu menyapa dan memanggil saya untuk kembali kepada-Nya. Ia tidak pernah menutup hatinya pada orang yang ingin bertobat.

Dosa dan Semut: Berkembang
Bila kita melihat realitas semadak, kita pasti akan mengatakan bahwa semadak adalah jenis semut yang bertubuh kecil. Semadak kerap tidak mendapat perhatian kita. Semadak adalah binatang yang sering kita abaikan layaknya semut-semut yang lain. Jika kita melihat seekor semadak di jalan, tentu saja kita tidak akan menghiraukannya.
Tanpa kita sadari, kita kerap juga mengabaikan dosa. Dosa-dosa yang kita lakukan biasanya berawal dari dosa-dosa kecil, layaknya seekor semadak yang kerap kira sepelakan. Kita kerap tidak mengindahkan dosa-dosa kecil itu, sehingga akhirnya menjadi tumpukan dosa yang telah mendarah-daging dalam diri kita. Tumpukan dosa itu seperti kumpulan besar semadak yang siap menghadang dan menghentikan perjalanan hidup kita menuju Allah. Kumpulan dosa atau dosa yang mendaging itu akhirnya menguasai kita, sehingga kita sulit lepas dari padanya.
Jadi, dosa itu tidak serta-merta langsung menjadi besar, namun berawal dosa kecil yang kerap tidak kita hiraukan. Mengapa kita kerap menghiraukannya? Karena kita kerap menyepelekan dosa-dosa itu, sehingga akhirnya menjadi berkembang dan bagian hidup kita. Apabila dosa itu telah menjadi bagian hidup kita, kita tidak akan menyadari lagi bahwa kita telah berdosa.

Keterbukaan hati
Kesadaran akan kasih Allah tidak akan pernah dapat terwujud bila kita tidak mengalami kasih itu sendiri. Kita akan benar-benar mengalami kasih Allah itu secara mendalam, bila kita mengalami sendiri kasih itu dalam pengalaman hidup kita. Dengan membuka diri terhadap kehadiran Allah, kita akan melihat dan merasakan cinta Allah yang begitu besar dalam perjalanan hidup kita. Keterbukaan ini berarti bahwa kita menerima kehadiran Allah yang mengundang kita untuk hidup dalam cinta-Nya. Hati yang terbuka merupakan tanggapan dan kesediaan kita untuk memenuhi kerinduan hidup dalam rahmat Allah. Bila kita mau membuka hati akan kehadiran Tuhan, kita pasti akan merasakan cinta Allah dalam setiap pengalaman hidup kita. Sebab keterbukaan hati ini akan menghantar kita pada sebuah relasi yang mesra dengan Allah. Relasi yang erat dengan Allah akan membuat hidup kita selalu berada dalam naungan kasih-Nya. Pengalaman manusia merasakan cinta Allah secara personal dalam kehidupan konkritnya, akan menjadi sangat penting bagi kita dalam proses pertobatan atau perdamaian kembali dengan Allah.

Cinta Allah Mengantar Pada Pertobatan Sejati
Kita semua mempunyai pengalaman perjumpaan dengan Allah yang berbeda-beda, di mana kita dapat merasakan bahwa Allah itu sungguh mancintai kita. Hanya saja kita kerap buta akan pengalaman-pengalaman itu, karena dosa yang seringkali mengelabuhi mata dan hati kita. Karena cinta-Nya yang besar, Allah tidak penah membiarkan kita berjalan sendirian dalam pergolakan hidup kita. Dia tetaplah Allah yang peduli dan akan selalu menyertai kita, seperti yang disabdakan-Nya dalam Yesaya 46:4: “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia, dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu”. Allah akan sesalu memberikan rahmat pertolongan-Nya dalam setiap kesesakan hidup kita.
Merasakan cinta Allah yang begitu besar dalam setiap pegalaman dan dalam hidup kita, akan membawa kita pada penyadaran akan betapa kecilnya kita di hadapan-Nya. Kita adalah manusia lemah yang kerap meninggalkan Allah. Kesadaran ini akan membuat kita semakin mampu untuk menyikapi sapaan Allah dengan mengakui, menghayati, dan menerima bahwa Allah telah berpaling kepada kita orang yang berdosa, penuh kerahiman. Dan pada akhirnya pengalaman sapaan cinta Allah inilah yang membawa kita kembali kepada-Nya. Jamahan cinta Allah menghantar kita pada sebuah perubahan hidup atau pada pertobatan yang sejati. Artinya bahwa perobatan itu sungguh didasarkan pada cinta Allah yang begitu besar kepada manusia, bukan karena alasan lain, seperti rasa takut terhadap hukuman dari Allah. Dalam suratnya kepada Louis Abelly, Vikaris Jenderal Bayonne berkaitan dengan masalah anggota komunitas religius yang bertindak seenaknya, Santo Vinsensius mengungkapkan: “Tetapi dengan cara ini (melalui hukuman) tidak ada seorang pun yang sungguh bertobat” (SV II, 2-6). Jadi kita akan sungguh-sungguh bertobat, bila kita menyadari bahwa Allah sungguh mencintai kita dan percaya bahwa Allah juga akan mengampuni segala dosa-dosa kita. Pertobatan sejati itu tidak keluar dari rasa takut akan sebuah hukuman, tetapi pertobatan itu keluar dari hati dengan penyesalan yang mendalam dan dengan kerinduan untuk berdamai kembali dengan Allah. Sebab dengan hati yang remuk redam atau penyesalan yang mendalam, kita dapat menyadari kelemahan dan kedosaan kita.

Penutup
Cinta Allah kepada kita sungguh tidak akan pudar, meskipun kita kerap meninggalkan-Nya. Pengalaman dijamah atau dicintai Allah hendak kita sadari sungguh-sungguh dalam kehidupan konkrit kita. Sebab pengalaman dicintai Allah merupakan pengalaman di mana kita diajak kembali mempererat relasi kita dengan-Nya. Lewat pengalaman ini, Allah mengundang kita untuk terus memperbaharui diri dan membiarkan hidup kita berada dalam dekapan-Nya. Pengalaman kasih yang kita alami, tentunya membawa kita kepada-Nya.

Daftar Pustaka

Alkitab. 1997. Jakarta: LAI

Ponticelli, S., CM. 2007. Dalam Bimbingan St, Vinsensius I. Malang: Dioma
Sarwanto
[1] Dalam Dayak Seberuang, semadak: jenis semut berwarna hitam yang gigitannya sangat sakit dan disertai rasa gatal.
[2] Sebuah alat yang terbuat dari rotan, digunakan orang Dayak untuk mengangkut barang-barang jika bepergian seperti ke ladang, berburu, dan lain-lalin.