EVANGELIZARE PAUPERIBUS MISIT ME(Menumbuhkan Semangat Pelayanan Kepada Kaum Miskin)
Karya Roh Kudus
Gereja atau ekklesia adalah perkumpulan saudara-saudara yang dilahirkan oleh tindakan Tuhan dan oleh kehadiran-Nya di tengah mereka. Gereja diutus menjadi Sakramen Universal keselamatan1. Artinya bahwa Gereja melanjutkan karya perutusan Kristus, yakni mewartakan keselamatan bagi semua orang.
Yesus menjanjikan Roh Kudus kepada para murid-Nya. Roh itulah yang menyemangati para murid untuk pergi mewartakan Kerajaan Allah sampai ke ujung bumi. Jadi dari sini dapat disimpulkan bahwa Roh Kudus dari Bapa yang diutus Yesus, mengerjakan karya penyelamatan Kristus dalam jiwa manusia. Ia menggerakkan Gereja untuk terus bekarya di dunia, mewartakan kasih Tuhan kepada segala bangsa. Roh Kudus ini pula yang nantinya akan menyatukan segenap Gereja dalam persekutuan pelayanan dan semangat merasul.
Keterbukaan Gereja terhadap karya Roh Kudus tentunya akan memampukan Gereja untuk melaksanakan tugasnya di dunia. Roh Kudus akan membimbing Gereja dalam mencari, menemukan, dan melaksanakan rencana Allah dalam peziarahannya di dunia. Roh Kudus membuat Gereja semakin tanggap pada perkembangan zaman. Gereja semakin sadar dan peka akan tanda-tanda zaman yang ada.
Kesadaran gereja juga menjadi kesadaran Santo Vinsensius sebagai anggota. Ia sangat prihatin dengan kehidupan rakyat yang menderita dan juga kehidupan para petinggi gereja zaman itu yang tidak pernah memperhatikan kehidupan umat yang berada di pelosok-pelosok. Santo Vinsensius percaya akan karya Roh Kudus yang menggerakkannya untuk pergi bermisi di tengah-tengah kaum miskin. Roh Kristus memanggilnya pada sebuah tugas yang mulia, yakni pelayanan kepada orang-orang yang tersingkir. Sehingga sangat tepat bila Santo Vinsensius memilih Luk 4: 18 sebagai motto hidupnya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin.”
Orang Miskin sebagai Pilihan Utama
Pelayanan hidup Santo Vinsensius seluruhnya dibaktikan kepada orang-orang miskin. Ia memilih orang miskin sebagai tempat labuhan hidup dan karyanya. Mengapa Santo Vinsensius memilih orang miskin? Tentunya ada sesuatu yang istimewa pada diri orang miskin.
Keistimewaan yang terdapat dalam pribadi orang miskin menjadi kesadaran Santo Vinsensius dalam pergolakannya mencari dan menemukan kehendak Tuhan. Santo Vinsensius tentunya menyadari bahwa para miskin ternyata telah menjadi pembawa wahyu Allah. Mereka dapat menjadi sarana dan jalan untuk menemukan Kristus. Sehingga Santo Vinsensius dengan tegas menyatakan bahwa orang miskin adalah tuan dan majikan yang harus harus dilayani, sepertinya yang terungkap dalam salah satu suratnya: “Let us go then, my brother and work with a new love in the service of the poor and most abandoned, recognizing before God that they are our lords and masters that we are unworthy to render them our small services (SV XI, 393).
Santo Vinsensius mengabdikan seluruh hidupnya bagi kaum miskin, tentunya dengan kesadaran bahwa ada keistimewaan dalam diri orang miskin. Ada hubungan khusus dan sangat erat antara Allah (Yesus Kristus) dan manusia yang menderita, miskin, sehingga pertemuan Santo Vinsensius dengan kaum papa menandakan bahwa ia juga bertemu dengan Allah sendiri. apa yang dilakukan terhadap kaum miskin memiliki nilai setaraf dengan perbuatan yang ditujukan kepada Allah.
Santo Vinsensius melihat dengan kacamata imannya bahwa kehadiran Tuhan Yesus dalam diri orang miskin menuntut uluran kasih darinya. Sehingga Vinsensius berani keluar dari dirinya dan pergi melayani orang-orang miskin yang kebanyakan berada di desa. Ini merupakan wujud cinta Vinsensius terhadap Allah sendiri. Cinta kepada Allah terwujud dalam cinta kepada sesama. Cinta itu menuntut tindakan konkrit. Sehingga pelayanan kepada orang miskin merupakan ungkapan cinta Vinsensius kepada Allah. Pelayanan kepada kaum miskin diyakini oleh Vinsensius sebagai jalan pengudusan. Pengabdian hidup dengan kaum miskin merupakan jalan untuk sampai pada kesempurnaan. Sehingga pilihan hidup untuk melayani kaum papa patut diperjuangkan dan usahakan. Seperti yang diungkapkan Vinsensius dalam salah satu suratnya: “Marilah kita mencintai Allah, sekali lagi marilah mencintai Allah dengan mencucurkan keringat dan dengan menyingsingkan lengan baju” (SVXI, 40).
Melihat Kehadiran Kristus pada Orang-orang Miskin
Yesus juga secara terang-terangan mengindentifikasikan diri dengan kaum miskin. Ini nampak dalam peristiwa pengadilan terakhir pada Mat 25: 31-46: ”Aku lapar dan kamu memberi Aku makan ... Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian ... Barang siapa saja yang kamu lakukan bagi salah seorang saudaraku yang terhina sekalipun, itu telah kamu lakukan bagi Aku.” Tuhan memang tersembunyi dalam wujud orang-orang yang lapar, telanjang, atau lebih tepatnya dalam diri mereka yang miskin. Dengan sabda-Nya ini, Yesus menyatakan diri-Nya identik dengan kaum miskin. Namun kehadiran Yesus yang berpihak pada kaum papa (pendosa) itu bukan berarti bahwa Allah mendukung kemikinan dan dosa mereka. Namun ada daya tarik tersendiri dalam diri orang miskin, sehingga Yesus justru masuk dalam golongan mereka (lht. Luk 1: 48- 52). Orang miskin di sini tentunya tidak langsung dikaitkan dengan kemiskinan material. Namun merupakan sikap jiwa miskin, yakni sikap merindukan rahmat Allah, sikap mengosongkan diri, dan menggantungkan hidup sepenuhnya kepada Allah.
a. Kemiskinan pada Zaman Yesus
Bila kita melihat kemiskinan zaman Yesus, kita dapat mengatakan bahwa pengertian miskin dalam injil bukan hanya menunjukkan orang-orang yang kekurangan secara ekonomis saja, namun orang yang miskin adalah orang yang hidup sepenuhnya bergantung pada belaskasihan orang lain. Mereka tidak mempunyai sandaran hidup yang memperhatikan dan mengangkat mereka dari keadaan mereka. Di zaman Yesus, penderitaan orang miskin yang paling besar adalah rasa aib dan malu1. Karena bagi orang timur tengah kehormatan lebih penting daripada makanan dan hidup sendiri2. orang-orang miskin biasanya tidak diperhitungkan dalam masyarakat. Mereka kehilangan martabat kemanusiaannya, karena tidak diperlakukan sebagai manusia. Mereka disingkirkan dari kehidupan sosial.
b. Kemiskinan dalam Hubungannya dengan Allah
Arti miskin di sini juga dapat diperluas dalam konteks hubungan dengan Allah, yakni berarti keadaan manusia yang sepenuhnya bergantung pada belaskasih Allah. Kehadiran Yesus pada orang miskin merupakan kehadiran kasih Allah yang membawa harapan dan sukacita bagi mereka. Yesus mengangkat martabat kemanusiaan mereka. Orang miskin yang dianggap sebagai kaum pendosa karena tidak menaati hukum Allah, kini oleh belas kasih Allah diangkat kembali menjadi orang yang berbahagia di hadapan Tuhan.
Pewartaan Injil: Mengenakan Kristus
Yesus Kristus merupakan pusat hidup dan kegiatan Kongregasi Misi (lht Konstitusi dan Statuta CM pasal 5). Ini berarti bahwa saya sebagai anggota kongregasi hendaknya selalu menghidupi semangat Yesus Kristus dalam diri saya. Yesus hendaknya menjadi pedoman dan pusat hidup dalam setiap pewartaan saya kepada kaum miskin. Warisan spiritual Santo Vinsensius hendaknya terus menghidupi saya dalam menumbuhkan semangat pelayanan kepada orang miskin.
Hidup dan semangat Santo Vinsensius hendaknya menjadi teladan yang harus saya pupuk dalam diri saya. Sebagai pengikut Santo Vinsensius, yakni mengikuti Kristus mewartakan Injil kepada orang miskin, saya memiliki tanggung jawab untuk meneruskan apa yang telah diwariskan oleh Bapa Pendiri. Saya sekarang hidup di zaman yang berbeda dengan zaman Beliau, namun warisan spritualitas dan nilai-nilai dari hidup Vinsensius tentunya masih sangat relevan untuk diteruskan atau diwartakan dalam konteks dunia sekarang ini. Meskipun orang miskin tidak akan pernah habis, selalu ada dan mewarnai perkembangan zaman, bukan berarti apa yang pewartaan yang dilakukan sebuah kesia-siaan. Namun justru sebaliknya, pewartaan dan perjumpaan dengan kaum miskin, merupakan pengalaman perjumpaan yang mendalam dengan Allah. Pengalaman ini dapat meneguhkan iman dan kepercayaan akan Allah yang selalu berpihak pada kaum papa. Pengalaman ini akan membawa saya pada kedalaman iman. Bila saya sungguh menyadari makna iman yang saya miliki, tentunya saya akan memperjuangkannya. Meskipun kedatangan saya tidak membawa materi, namun saya membawa Kristus yang dapat saya bagikan. Saya mewartakan Kristus yang menjadi kerinduan banyak orang.
Menghidupi Kristus dalam diri saya berarti saya membiarkan Yesus menguasai hati, pikiran, dan budi saya. Sehingga apa yang saya lakukan merupakan kehendak dan pekerjaan Kristus sendiri. Dan perilaku hidup saya yang selalu menghadirkan Kristus ini akan menjadi sebuah pewartaan yang efektif di tengah-tengah kaum miskin. Ini merupakan kesaksian hidup yang lebih mengena dan menghadirkan sukacita dalam setiap perjumpaan dengan kaum miskin. Karena Kristus yang kita wartakan akan menjadi seteguk cinta yang akan menyegarkan jiwa mereka yang haus. Kristus yang diwartakan lewat tindakan konkrit tentunya akan memberi semangat baru dalam hidup mereka. Pewartaan inilah yang akan membawa mereka pada kesadaran bahwa Tuhan selalu mencintai mereka dan mereka sangat berharga di mata Tuhan.
Teladan Kristus sebagai Seorang Hamba
Yesus sungguh menghayati perutusannya. Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menjadi tebusan bagi banyak orang. Ia adalah Tuhan yang bertindak sebagai hamba dan tidak mau berpegang teguh pada kemuliaan-Nya yang setara dengan Allah (lht. Filp 2: 6-11).
Sikap mengosongkan diri yang diteladankan Yesus ini juga menjadi semangat Santo Vinsensius dalam perutusannya mewartakan injil kepada kaum miskin. Dengan mengosongkan diri, Santo Vinsensius mengenakan atau menaruh Roh Kristus, yaitu semangat kemiskinan dalam dirinya. Semangat kemiskinan atau mengosongkan diri ini membuat Santo Vinsensius tidak berpegang pada apa pun, kecuali hanya pada Allah. Ia meletakkan Kristus sebagai tumpuan hidupnya, terutama dalam pelayanan di tengah-tengah kaum miskin. Santo Vinsensius juga mewariskan semangat ini kepada para pengikutnya, seperti yang terungkap dalam suratnya kepada Antoine Durand, yang diangkat Pimpinan Seminari Adge (1656): “Romo (Antoine Durand) harus meninggalkan diri sendiri untuk mengenakan Yesus Kristus” ( SV XI 343-344).
Semangat mengosongkan diri memampukan Santo Vinsensius untuk menjadi manusia yang bebas dalam mencintai sesamanya. Ia lepas dari kelekatan-kelekatan duniawi yang akan menjeratnya pada kehausan akan kekuasaan dan cinta diri. Ia mengosongkan diri dan menjadi hamba yang bebas melayani saudara-saudara yang malang. Ia dapat mempersembahkan dan membaktikan seluruh hidupnya pelayanan yang mulia, seperti Kristus sendiri yang rela mengorbankan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang ( lht. Mat 20: 28).
Semangat mengosongkan diri juga dapat diartikan sebagai semangat mencari kehendak Tuhan dalam hidup. Karena dengan mengosongkan diri, Santo Vinsensius semakin sadar dan terbuka akan rencana Allah dalam hidupnya. Sikap mengosongkan diri ini memampukan Santo Vinsensius untuk mendengarkan suara Allah yang memanggilnya untuk pergi membebaskan sesama yang papa dari kemalangan. ia melepaskan segala keterikatan di dunia dan membiarkan rencana Allah bekerja dalam hidupnya.
Membangun Relasi Personal dengan Tuhan
Bila berbicara mengenai kehendak Allah, tentunya orang teringat akan suatu peristiwa di mana ia harus menentukan apa yang akan dilakukan atau diperbuat dalam hidupnya. Dalam pengalaman konkrit, semua orang akan banyak berjumpa dan bergelut dalam masalah ini. Orang kerap bingung untuk menentukan sebuah tindakan, sehingga timbul keraguan, apakah yang dilakukan sesuai dengan jalan yang dikehendaki Tuhan. Mencari kehendak Allah dalam hidup merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Oleh sebab itu dibutuhakan relasi yang mendalam dengan Tuhan sendiri. Kita bisa belajar dari Santo Vinsensius dalam pergolakan hidup untuk mencari apa yang Tuhan kehendaki pada diri kita. Dalam pengalaman konkrit, Santo Vinsensius selalu membuka diri pada rencana dan kehendak Tuhan, seperti yang pernah ia ungkapkan dalam doanya: “Tuhan sekiranya Tuhan ada di sini, bagaimana sikap Tuhan dalam situasi ini?” Ini merupakan kata-kata atau doa yang menunjukkan kedekatan relasi Santo Vinsensius dengan Tuhan.
Untuk dapat mewartakan Injil secara efektif dan mengena kepada kaum miskin, saya harus memiliki hubungan yang personal dengan Tuhan. Hubungan yang mendalam dengan Tuhan akan memungkinkan terjadinya keseimbangan antara doa dan karya. Bila saya melupakan hidup doa dan hanya mengandalkan karya, maka apa yang saya lakukan tidaklah lebih dari sebuah tindakan yang ditujukan pada kesenangan dan kepentingan pribadi. Karena saya hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri dan melupakan peran Allah. Sehingga semua yang dilakukan hanya untuk kemuliaan diri, bukan untuk kemuliaan Allah. Meskipun manusia dapat memuliakan Tuhan dalam karya, itu bukan berarti bahwa karya itu membuat kita melupkan hidup doa. Bukan berarti bahwa saya hanya melulu berkarya, sehingga melupakan peranan Tuhan dalam pewartaan. Tuhan merupakan sumber dan tujuan dari setiap pewartaan saya di tengah-tengah kaum miskin. Oleh sebab itu relasi yang mendalam dengan Tuhan sangatlah penting dalam karya-karya pewartaan saya.
Relasi yang personal dengan Tuhan juga dapat meneguhkan kepercayaan akan Penyelenggaraan Ilahi, akan karya Roh Kudus yang hidup dalam diri saya. Roh itu akan membangkitkan panggilan dan semangat misioner. Roh Kudus itu juga akan mencurahkan cinta kasih dalam hati saya dan cinta kasih itu yang saya wartakan kepada orang miskin. Berkat karya Roh Kudus, cinta kasih yang saya wartakan dapat merangkul orang-orang papa.
Relasi yang mendalam dengan Tuhan tidak akan terwujud bila saya tidak melatih atau membangunnya selama masa pembinaan, secara khusus selama berada di Seminarium Internum. Masa pembinaan di Seminarium Internum merupakan kesempatan bagi saya untuk membangun dan mempererat relasi yang personal dengan Tuhan. Berbagai kegiatan seperti salve, pemeriksaan batin, Ekaristi, dan doa-doa yang lain dapat membawa saya pada proses keintiman relasi dengan Tuhan. Relasi yang dibangun tentunya akan berbuah dalam pewartaan di tengah-tengah kaum miskin. Sebab keteguhan iman kepercayaan kepada Allah yang semakin tumbuh dapat menumbuhkan semangat pelayanan kepada orang miskin.
1 Ad Gentes art. 1
2 Albert Nolan, OP, Yesus Sebelum Agama Kristen, hlm. 37
3 JDM. Derrett (2), Jesus’s Audience, hlm. 40. 42

